Komite Suara Sipil Tolak Keras Geotermal di Gede Pangrango

Spanduk bertuliskan tolak geothermal Gede Pangrango tepampang dibantaran sungai Cisadane Kota Tangerang, Survival Journalism 

Survival Journalism - Pembangunan proyek geothermal di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menciptakan kekhawatiran besar terhadap keberlanjutan sumber mata air yang menjadi nadi kehidupan masyarakat.

Humas Komite Suara Sipil, Topan Bagaskara mengungkap, potensi ancaman terhadap debit air, kualitas lingkungan, serta fungsi kawasan hutan, proyek ini dianggap lebih merugikan ekosistem dan kesejahteraan warga dari pada manfaat energi terbarukan. 

"Air adalah sumber penghidupan yang dimanfaatkan masyarakat berbagai kebutuhan. Begitu pula dengan kawasan hutan yang menjadi wilayah lindung bagi kawasan hulu," jelasnya.

TNGGP yang sudah ditetapkan oleh UNESCO untuk menjadi kawasan cagar biosfer dunia sejak tahun 1977 dengan status World Network of Biosphere Reserves (WNBR). 

"Secara otomatis kawasan ini telah menjadi kawasan khusus yang ditetapkan untuk upaya melestarikan keanekaragaman hayati sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan," ujar Topan.

Oleh karena itu, cagar biosfer tidak bisa dipergunakan untuk dieksploitasi secara bebas atau berlebihan.

"Tujuannya adalah untuk mendorong pembangunan berkelanjutan melalui konservasi keanekaragaman hayati, warisan budaya, dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan," imbuhnya.

Gunung Gede Pangrango merupakan sumber mata air bagi empat Daerah Aliran Sungai (DAS) di tiga provinsi, yakni Citarum, Cimandiri, Cisadane serta Ciliwung. 

"Setidaknya ada 94 titik mata air yang tersebar di kawasan TNGGP dengan debit udara mencapai 594,6 miliar liter per tahun atau setara 191,1 juta liter per detik manusia yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih sekitar 30 juta," papar Topan.

Proyek ini persis seperti siluman, diam tapi terus bergerak

Tahun 2022, warga Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cipanas, keduanya di Kabupaten Cianjur, mendengar kabar tentang rencana pemerintah akan mengeksploitasi potensi panas bumi di Gunung Gede Pangrango.

Proyek panas bumi (geothermal) di lereng Gunung Gede Pangrango mulai diintensifkan dengan eksplorasi dan pematokan lahan oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango salah satu anak usaha Sinar Mas pada paruh kedua tahun 2022.

Eksplorasi disertai upaya pematokan dan pembelanjaan lahan, untuk akses jalan maupun pengeboran panas bumi.

"Meskipun ada penolakan kuat dari warga dan aktivis lingkungan karena kekhawatiran akan dampak terhadap sumber air vital bagi jutaan orang namun upaya pembangunan proyek tersebut bertahap tetap dilanjutkan," tuturnya.

Bagi warga yang menghuni kampung-kampung di lingkar Gunung Gede Pangrango, kedatangan pertambangan panas bumi akan merampas ruang hidup satu-satunya yang dimiliki warga. Ruang hidup ini menyediakan segala yang diperlukan bagi warga Gede untuk hidup sehat, sejahtera, damai, dan layak bagi kemanusiaan. Mayoritas warga menggantungkan hidupnya pada kebun dan lahan untuk memenuhi pangan sehari-hari, sekaligus sumber mata pencaharian. 

Warga Gede juga bergantung penuh pada sumber-sumber mata air yang akan dibangun wellpad untuk kebutuhan air bersih sehari-hari sekaligus untuk mengairi ladang dan kebun. 

"Pertambangan panas bumi terbukti menimbulkan daya rusak yang besar bagi lingkungan dan mengancam keselamatan nyawa," tegas dia.

Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), operasi panas bumi di seluruh Indonesia telah menewaskan tujuh nyawa di Mandailing Natal, Sumatera Utara dan satu nyawa di Dieng, Jawa Tengah.

Sementara itu, tak terhitung jumlah korban jatuh akibat keracunan gas H2S yang mengandung hidrogen sianida (HCN).

Meskipun dianggap ramah lingkungan karena minim emisi, ungkap Topan, energi geotermal dapat berdampak negatif terhadap lingkungan melalui pelepasan gas beracun seperti hidrogen sulfida (H2S) pencemaran air tanah, penurunan muka tanah (subsiden), gangguan ekosistem,dan potensi memicu gempa bumi. 

"Selain itu, pembangunan infrastruktur sering kali menyebabkan kerusakan lahan dan hilangnya habitat," jelasnya.

Dalam jurnal yang ditulis Wahyu Mei Trianto dan Sulistyono dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Minyak dan Gas Bumi (PPSDM Migas) Kementerian ESDM menyatakan bahwa, pemanfaatan panas bumi berpotensi menghasilkan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang akan merusak ekologi.

"Limbah yang dihasilkan industri PLTP berupa geothermal brine dan sludge, jika limbah tersebut, baik berupa limbah padat, cair maupun gas ada yang dibuang ke lingkungan akan mengakibatkan masalah pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia dan makhluk lainnya," jelasnya.

Adapun kandungan limbah cair dan gas panas bumi terdiri mulai dari hidrogen disulfidee (H2S), amoniak (NH3), air raksa (Hg), arsen (As), silika (SiO2), kalium(K), Kalsium (Ca), magnesium (Mg), dioksidas (Co2), karbon monoksida (CO), dan minyak.Kandungan itu semua tentu berpotensi membahayakan kesehatan manusia.

Potensi Pencemaran Sungai Cisadane, Komite Suara Sipil melihat bagaimana konflik agraria terus terjadi, dan hal itu muncul dari kejahatan-kejahatan korporasi-negara dengan membawa wacana pembangunan dan kemaslahatan publik.

Ini menjadi ironi jika kita ambil contoh persoalan di proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango, ini yang menimbulkan sebuah pertanyaan apakah seperti itu cara korporasi pemerintah melaksanakan wacana pembangunan dan untuk kepentingan publik? Ini yang dinamakan industri ekstraksi, bahwa negara dalam pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada eksploitasi sumber-sumber kehidupan. 

"Ideologi keruk-mengeruk ini yang kita kenal dengan ekstrativisme. Merupakan suatu paham yang dimana hasil eksploitasi sumber-sumber kehidupan itu akan diekspor atau dirampas sebagai bahan dagangan ke pasar global dan satu helaan napas dengan paham kapitalisme," imbuh dia.

Budaya patriarki. Dari sekian banyaknya contoh kegiatan industri ekstraktif di seluruh dunia tentunya semua akan kembali pada kerusakan alam itu sendiri; ekosistem hutan dan masyarakat sekitar.

Dinamika ekspansi ekstraktif energi panas bumi yang sedang terjadi merefleksikan apa yang dikemukakan oleh Rob Nixon [2013] tentang slow violence [kekerasan lambat], di mana kerusakan lingkungan berlangsung secara bertahap, namun berdampak jangka panjang terhadap komunitas manusia yang terpinggirkan.

Retorika transisi “energi hijau” seringkali menutupi bentuk-bentuk kekerasan struktural terhadap masyarakat lokal. Sebab ekspansi energi panas bumi tanpa partisipasi sejati dari komunitas terdampak bukan hanya melanggar hak asasi, tetapi juga merusak relasi ekosistem yang telah terjaga selama berabad-abad.

Lebih lanjut, hasil riset CELIOS dan WALHI pada 2024 memproyeksikan kerugian pendapatan petani sebesar Rp470 miliar pada tahap pembangunan dan kerugian output ekonomi hingga Rp1,09 triliun pada tahun kedua ekstraksi geotermal. 

Selain itu, proyek geothermal di Kawasan Gunung Gede Pangrango menggenggam potensi penderitaan bagi masyarakat sungai yang secara letak sangat jauh dari titik proyek geothermal, yakni potensi pencemaran air sungai.

Tanpa perubahan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia dan lingkungan sebagai subjek, narasi energi bersih di kawasan TNGGP hanya sekadar pertarungan politik dagang, memperluas komodifikasi sumber daya alam dan menjamin jalur distribusi hasil ekstraksi untuk kepentingan pasar global.

Belum lagi, polusi udara dan air merupakan dua isu lingkungan utama yang terkait dengan teknologi energi panas bumi. Kekhawatiran lainnya adalah pembuangan limbah berbahaya yang aman, lokasi, dan penurunan tanah.

"Sebagian besar pembangkit listrik tenaga panas bumi membutuhkan air dalam jumlah besar untuk pendinginan atau keperluan lainnya. Hal ini semua harus menjadi dasar Pemerintah harus mengerti tentang apa yang dinamakan etika lingkungan," tegas Topan.

Etika  yang meyakini bahwa alam juga memiliki hak untuk hidup dan berkembang. Alam tidak boleh diperlakukan secara brutal. Alam adalah rumah yang dirindukan para petualang.

"Akan tetapi, kita luput menyadari bahwa perjalanan mengubah geothermal menjadi listrik dapat dari proses ekstraktif yang memerlukan sumber daya yang cukup besar. Bahkan dalam prosesnya menimbulkan banyak konflik dengan masyarakat," imbuh dia.

Cerita mengenai gempa bumi, pencemaran air tanah, gagal panen, hilangnya biodiversitas endemik, hingga kejadian tragis yang menewaskan warga setempat yang disebabkan gas beracun dari ledakan pipa, telah menyingkap sisi gelap Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP).

Keberadaannya seolah sudah satu paket dengan ironi yang dimunculkan melalui cerita warga setempat dan berbagai laporan akademik. 

Alih-alih melakukan evaluasi mendalam, pemerintah justru tetap berkeras pada keyakinan bahwa PLTP rendah emisi, dan tetap melanjutkan proyek berikut pengembangan PLTP eksisting. 

"Padahal selama proses pembangunan pembangkit listrik dan instalasi permukaan hingga proses operasionalnya, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) bisa mencapai kuantitas yang setara dengan emisi PLTU batubara. Artinya: klaim PLTP tanpa emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tidak terbukti," ungkap Topan. 


Survival Journalism 

Lebih baru Lebih lama